Minggu, 04 Oktober 2009

Satu Kesempatan Seribu Jalan Sejuta Harapan

Pernahkan kita melewatkan satu kesempatan, hingga paa akhirnya penyesalan yang kita rasakan? Mestinya pernah, sekecil apapun. Kita tidak menyadari, di balik satu kesempatan itu di dalamnya berisi seribu jalan yang akan membawa sejuta harapan. Itulah, begitu berlalu kesempatan, terlewatkan jalan dan hilanglah harapan. Duh, sakitnya....
Banyak di antara kita berusaha menjadi seorang yang berpikir diri kita berlebihan, tetapi hanya pada saat ini. Tidak berpikir jauh langkah kita ke depan. Sehingga, banyak "dalih mulia" untuk menghindari kesempatan, dan sayangnya itu banyak terjadi pada kita.
Pahami sebuah cerita sederhana ini. Cerita seperti ini bisa terjadi dalam bentuk dan versi lain dalam kehidupan kita.
Di sebuah desa terpencil, seorang pemuda menderita penyakit kulit yang tidak kunjung sembuh. Seorang tabib di desanya mengatakan dia akan sembuh setelah mandi di sebuah telaga yang terletak di balik gunung, jauh dari tempat tinggalnya.
Beberapa kemungkinan akan terjadi:
(1) Pemuda itu akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mandi di telaga tersebut. Inilah pemuda yang pumya semangat, termotivasi. Padahal, dia juga belum tahu apakah usahanya akan berhasil atau tidak. Keberanian pemuda tersebut mengambil keputusan patut diacungi dua jempol.
(2) Pemuda tersebut menghitung kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Menghitung kemungkinan memang merupakan langkah tepat. Kalau hitung-hitungan didasarkan pada berbagai kemungkinan yang logis, jelas itu baik. Tapi, pehitungan yang dilakukan biasanya cenderung bentuk keragu-raguan. Keraguan inilah yang akhirnya bernilai negatif. Bukan masalah hasil akhir dari perhitungan, tapi proses yang terjadilah yang kita coba telaah. Jika hasil akhirnya pemuda tesebut memutuskan pergi menuju telaga, berarti pemuda tersebut selalu penuh perhitungan. Tapi jika hasil akhinya tetap tidak berangkat, berarti pemuda tersebut lebih bersifat pesimistif, lebih banyak negative thinking, yang jelas ga cocok jadi pacar idaman (udah penyakitan, susah kalau diajak usaha.)
(3) Pemuda tersebut langsung menyatakan dengan tegas tidak pergi ke telaga. Dengan dalih apapun, keputusan tidak pergi ke telaga adalah keputusan konyol. Semua tidak ada yang mengetahui apakah telaga tersebut benar-benar nanti bisa menyembuhkan pemuda tesebut atau tidak. Artinya, semakin kecil informasi yang akan didapat pemuda itu tentang telaga. Pemuda jenis ini jelas hanya bisa dijadikan "pelengkap dunia". Udah sakit ga sembuh-sembuh diajak berusaha aja langsung menolak. Berharap bantuan turun dari langit. Budaya pengemis, budaya peminta-minta. Jika diterjunkan ke medan perang mati pertama (walaupun matinya bisa terlihat heroik, itu cuma karena nekat nggak ada opsi lain).
Biasanya ketidakbersediaan memanfaatkan kesempatan ini bisa dengan aneka dalih. Dalih tidak ada biaya (walaupun tentengannya HP mahal), berat melakukannya (walaupun kalo sama pacar bukit kan kudaki laut kuseberangi), dalih orang tua tidak merestui (meski pacaran back street jalan terus), dalih Tuhan pasti memberi jalan lain (diberi jalan satu aja nggak dimanfaatkan-inilah jenis manusia pengatur Tuhan, kalau sesuai selera Tuhan menjadi penolong, kalau nggak sesuai selera Tuhan disomasi untuk mengubah petunjukNya) atau dalih-dalih lain yang sebenarnya hanya untuk menutupi semangatnya yang letoy.
Sekarang, kita bisa melihat diri kita. Termasuk yang manakah kita? Atau, minimal kita bisa mencocokkan, termasuk kriteria mana yang kita suka. Yang jelas, jangan menjadi pemuda (atau pemudi) yang letoy, ga semangat, anti motivasi, anti perubahan, pasrah pada keadaan, berharap semua turun dari langit, mental pengemis.
(Pipit B Nugroho-Oktober '09)
Powered by Telkomsel BlackBerry®